Postingan

Munafik

 Karya : Semanggi Orang besar itu meninggalkan singgasananya dan berkeliling disejumlah perguruan tinggi. Ketika petuah-petuah itu menggema hingga sudut-sudut ruang, mahasiswa menggeleng - gelengkan kepala mereka. "Orang besar itu berbicara omong kosong." Kalimat itu dilipat rapi dalam benak. Apalagi si mahasiswa kritis itu, ia vokal berani menyuarakan kalimat tadi dengan menyelipkannya dalam pertanyaan dan argumennya tentang kebijakan dan keadilan sosial. Mahasiswa lain menyanjungnya lewat sorot mata mereka, "Benar, ini superhero kami." Kira-kira seperti itu bila diungkapkan. Orang besar itu cerdik dan pandai menilai. Mahasiswa yang disebut superhero itu pun cerdik, orang lain tak akan memahami taktik yang disimpannya apik. Kini sorot-sorot mahasiswa pada si superhero itu mengandung makna lain. Mereka kini menjadi rakyat yang menyaksikan si superhero tadi telah duduk disinggasana dan tak pernah mau lengser kendati isu korupsi membelenggunya. "B

Cermin

 Karya :  Dimensi lain "Ada apa dengan tatapanmu nona? Sudah lelahkah engkau menahan segala beban dalam hidup? Atau bahkan kau tak sanggup lagi menghadapi beban hidupmu?" tanyaku ketika sedari tadi ku pandang nona yang tengah meringkuk sembari menatapku tak terlihat jelas memang karena wajahnya tertutup helai rambut yang sangat tidak karuan, namun aku dapat melihat jelas matanya dengan tatapan yang tak dapat aku artikan, "Hey, kenapa diam saja? Apakah benar yang aku katakan tadi?" nona tersebut masih terdiam dengan ekspresinya yang makin tak dapat aku jelaskan. Kemudian nona tersebut mengeluarkan sesuatu dibalik saku jaketnya yang telah lusuh, "Ya ampun nona! Tunggu apa yang ingin kau lakukan?" akupun terkejut ketika kulihat benda yang dikeluarkannya adalah sebilah pisau. "Hey hey tenang nona, semua dapat diselesaikan secara baik-baik bukan?" Ucapku sambil gemetar takut-takut ia akan menerjang dan membunuhku dengan pisau itu, namun aku salah tern
  LaRa Cahaya mencuri waktu untuk masuk Melalui jendela yang terbuka Angin menelusuri arah Layar tipis pada tiap jendela kini sudah bergerak Menari –nari             Tak terasa waktu berlalu berjalan begitu saja , rasanya masih sama , selang – selang panjang seperti sudah menjadi temanku , aroma khas rumah sakit sudah tidak asing lagi , ranjang yang sudah akrab denganku , entah sampai kapan ini berakhir.             Namaku Rara , putri tunggal dari keluarga Simon , ayahku bernama Simon ia bekerja di   salah satu perusahaan swasta di Yogyakarta , sementara ibuku ia bernama Hasna seorang penulis buku anak –anak   , umurku 14 tahun, dulu diriku begitu periang selalu tertawa ,bahkan menjadi salah satu anggota ekstrakurikuler pecinta alam di sekolah , kini   hidupku tidak seperti anak – anak pada umumnya hidupku kini aku habiskan di kamar atau bahkan di rumah sakit , dan kini aku menjadi seorang anak yang pendiam   . Berawal dari satu tahun yang lalu ketika kabar buruk datang
  Kisah Bunga-Bunga Angsana Lama sudah gadis imut nan cantik itu terdiam di kursi dekat danau, panggil saja Nayla yang sedang menunggu Dimas kekasihnya. Laki-laki tinggi dan manis yang jua tak kunjung tiba. Sambil memandang danau kampus, ingatan-ingatan Nayla tentang hari-hari dengan Dimas berdatangan. Lima tahun sudah Nayla menjalin hubungan dengan Dimas. Menunggu Dimas datang, bukan lagi hal yang baru baginya. Nayla teringat perkataan Dimas Hari itu, "Untuk ke depannya, biar aku yang menunggumu. Laki-laki macam apa aku ini, membiarkan kekasihku yang lucu ini menunggu seorang laki-laki yang sering datang terlambat."   Mengingat kalimat itu, Nayla hanya tertawa. Mungkin banyak pasangan yang memaklumi sifat dari setiap pasangannya, walaupun memiliki kekurangan harusnya tetap bisa saling memaklumi bukan?.  Menit demi menit telah berlalu, sampai akhirnya Nayla terlelap tidur. Ketika sadar, ternyata sudah ada Dimas disampingnya. "Maafkan aku, lagi-lagi selalu membu
  Hikmah Dibalik Peristiwa Oleh Harinay Secangkir kopi dan goreng pisang menemani paginya, di pegunungan yang asri, Seorang Ibu dan Bapak yang sudah paruh baya menantikan anak kesayangannya. Namun tak kunjung datang, mereka pun segera bergegas   untuk bekerja. Sawah itu tampak mengering. Namun hujan datang memberikan rahmat. Senyum tulus pun tergambar nyata dari wajah si Ibu dan Bapak. Bagi mereka sawah adalah tempat mencari nafkah. Meskipun sang mentari sangat terik, tak sedikitpun membuatnya lelah bekerja. Cangkul adalah senjatanya yang setiap pagi dipikul oleh si Bapak. “Pak, makan dulu” teriak si Ibu. Seketika si Bapak pun menghampiri si Ibu, yang sudah menyiapkan makanan untuk disantap. Sungguh indah di pandang oleh aksa. Sementara anaknya mencari ilmu di tempat yang jauh. “ Bu, kira- kira anak kita sudah makan atau belum ya?” “ Ia pak, ibu juga kepikiran “ Begitulah mereka, selalu mengkhawatirkan anaknya, padahal anaknya mungkin pada saat itu sedang makan enak di
  Judul: Miracle Nama penulis: Rilion   “Anda terlambat, silakan keluar!” “Ta-tapi, Pak .... “ Baru saja satu langkah memasuki ruangan, tapi langkah yang lain harus menyeretnya keluar. Kehadirannya tidak diterima dengan baik. “Pak, saya tidak ketiduran, jalanan hari ini juga lancar.” “Lalu, kenapa kamu bisa kesiangan?” “Saya harus membuka kedai, karena ibu-“ “Selalu dijadikan alasan! Keluar!” Niatnya ingin mencari ilmu, tapi waktu tidak ingin dibuat menunggu. Harus selalu tepat waktu, dan pernyataan tidak lagi berarti tanpa adanya sebuah kepercayaan. “Haruskah aku berhenti kuliah? Tapi bagaimana dengan mimpi-mimpiku?” Hari ini kedainya sangat sepi, belum ada pembeli yang ingin singgah di kedainya atau memang kedainya sudah tidak berkualitas lagi. “Roti bakar rasa keju satu!” “Mbak? Mbak Layzi?” tanya seorang pelayan menyadarkan lamunannya. “Eh, iya? Ada apa?” Layzi melihat seorang pria dengan muka penuh lebam terutama di sekitar mulutnya. “Ya, ampun! Kok b
  Seorang Wanita Mutung Buah Karya: Meisi Nesya Pada sebuah malam di satu hari Detik jam menampakkan dina hari Pada pojok dinding sebuah ruang Terkulai lemah seorang wanita mutung Jemarinya menari-nari di atas pena Matanya merintikkan kesenduan, pupil mata mulai membesar Membesar bagai bunga pekaja Atma melayang di awan kelabu, nabastala yang kelam Hati berlumuran durja, kecil hati pada seorang perjaka Bercuma katanya, hilang kalanya Tanda kasih pada seorang perjaka, Akankah semakin pilu, atau semakin mendera?   Cirebon, 15 April 2020 [01.31 dina hari]