Kisah
Bunga-Bunga Angsana
Lama sudah gadis imut
nan cantik itu terdiam di kursi dekat danau, panggil saja Nayla yang sedang
menunggu Dimas kekasihnya. Laki-laki tinggi dan manis yang jua tak kunjung
tiba. Sambil memandang danau kampus, ingatan-ingatan Nayla tentang hari-hari
dengan Dimas berdatangan. Lima tahun sudah Nayla menjalin hubungan dengan
Dimas. Menunggu Dimas datang, bukan lagi hal yang baru baginya. Nayla teringat
perkataan Dimas Hari itu,
"Untuk ke
depannya, biar aku yang menunggumu. Laki-laki macam apa aku ini, membiarkan
kekasihku yang lucu ini menunggu seorang laki-laki yang sering datang
terlambat."
Mengingat kalimat itu, Nayla hanya tertawa.
Mungkin banyak pasangan yang memaklumi sifat dari setiap pasangannya, walaupun memiliki
kekurangan harusnya tetap bisa saling memaklumi bukan?.
Menit demi menit telah
berlalu, sampai akhirnya Nayla terlelap tidur. Ketika sadar, ternyata sudah ada
Dimas disampingnya.
"Maafkan aku,
lagi-lagi selalu membuatmu menunggu." ucap Dimas sedih.
Nayla hanya tersenyum
dan berkata "Aku rasa, menunggumu bukanlah hal yang berat bagiku karena
aku tahu kamu pasti datang."
Dimas menatap kedua
mata Nayla, terasa teduh setiap kali menatap bola mata cokelat itu. Dia tahu
bahwa ada hati yang benar-benar tulus di dalam jiwa Nayla.
Dimas tersenyum dan
hatinya berkata "Jika saja aku bisa membeli sebuah kesempatan untuk hidup,
akan ku beli kesempatan itu meski aku harus hidup miskin
setelahnya."
Kemudian, mereka
berjalan di sekitar kampus. Tanpa tersadar, helai demi helai kelopak angsana
pun jatuh.
"Kamu ingat saat aku memberimu semangat
agar bisa menyusulku kuliah disini?" Nayla tersenyum menatap Dimas dan
berkata,
"Tentu aku tidak
lupa, tiap kelopak-kelopak bunga angsana ini menyimpan banyak arti bagiku.
Terutama saat kamu mengabadikannya dan mengirim pesan singkat bahwa kamu
menungguku untuk menikmati tiap helaian angsana ini di bawah rindangnya
pohon-pohon itu."
Dimas tersenyum
mendengar Nayla berkata seperti itu, namun ada air mata yang dia tahan disana.
“Seandainya kamu tahu
Nay, aku mengidap penyakit apa. Mungkin kamu akan sangat khawatir padaku.” ucap
Dimas dalam hati.
“Mas?” tanya Nayla
“Iya Nay?” jawabnya
“Sejak pertama melihat
angsana-angsana ini, entah mengapa aku merasa senang. Karena setiap kelopak
mereka pasti menjadi saksi akan cerita kita disini.” Ucap Nayla.
“Walaupun kamu tidak
tahu bahwa mereka pun menjadi saksi atas penyakit yang baru aku ketahui saat
mulai kuliah disini.” tambah Nayla dalam hati.
Nayla dan Dimas
ternyata mengidap penyakit dan cukup berat. Mereka sama-sama mengidap penyakit
jantung. Tanpa Dimas ketahui, jantung Nayla seringkali bereaksi setiap Nayla
merasa stress atau kelelahan. Saat hal itu terjadi, Nayla langsung pingsan
bahkan terkadang harus di rawat di rumah sakit kampus. Nayla merupakan
mahasiswi jurusan kedokteran tingkat 3, jadi Nayla cukup mengetahui resiko dari
penyakitnya itu. Sedangkan Dimas
merupakan mahasiswa tingkat 4 jurusan manajemen. Sebenarnya raut wajah
Dimas seringkali menampakkan raut wajah yang lelah. Bahkan semenjak Nayla
menekuni bidang kedokterannya, Nayla lama-lama dapat menebak kesehatan
seseorang. Melalui cara Dimas bernafas, bibir yang terkadang pucat, dan tangan
yang seringkali terasa dingin, Nayla sudah menebak bahwa Dimas dan Nayla
sama-sama mengidap penyakit jantung. Itulah alasan mengapa Nayla selalu
menunjukkan raut muka yang khawatir setiap kali bertemu dengan Dimas. Hanya
saja, Nayla belum bisa memastikan kebenarannya.
Memikirkan hal itu,
tanpa sadar Nayla berjalan lebih cepat dan membentang jarak sejauh 5 meter.
Dimas membiarkan Nayla, karena dia merasa penyakitnya kambuh lagi dan tidak
bisa melangkah lebih cepat. Selang beberapa detik, langkah Nayla terhenti
ketika menyadari bahwa Dimas telah tertinggla dibelakangnya.
“Mas? Kok malah
berhenti?” tanya Nayla sambil mendekat kearah Dimas.
“Oh gapapa Nay, tadi HP
ku bunyi jadi aku berhenti dulu sebentar.” ucap Dimas berbohong.
Nayla lagi-lagi
memberikan raut muka yang khawatir, dia menyadari bahwa ada yang tidak beres
dengan Dimas.
“Udah ah gapapa Nay”
ucap Dimas sambil mengusap kepala Nayla dan berjalan cepat.
Sayangnya, saat itu
juga penyakit Dimas benar-benar kambuh. Dimas terjatuh diantara guguran
bunga-bunga angsana. Nayla terkejut ketika melihat laki-laki yang dia
khawatirkan itu jatuh lemah dihadapannya. Ketika ingin menolong Dimas, langkah
Nayla terhenti karena jantung Nayla pun terasa sakit. Nayla terdiam sesaat,
mencoba mengontrol detak jantungnya dan menarik napas sedikit demi sedikit.
Kemudian, Nayla mengeluarkan HP nya dan menelepon rumah sakit kampus.
“Ninu.. ninu.. ninu..”
sirine ambulance mulai terdengar.
Dimas pun dilarikan ke
rumah sakit kampus. Nayla mencoba menenangkan dirinya, karena jika terlalu
cemas Nayla bisa bernasib sama dengan Dimas bahkan mungkin bisa lebih parah.
Nayla hanya bisa berdo’a agar sesuatu yang buruk tidak menimpa Dimas. Hampir 30
menit dan akhirnya dokter pun keluar.
“Beruntung dia cepat di
bawa Nay, kalau tidak mungkin tidak akan tertolong.” Ucap dokter.
Nayla terkejut
mendengar ucapan dokter, tiba-tiba nafas Nayla mulai tidak beraturan. Tangannya
terasa dingin dan tidak karuan. Dokter pun dengan sigap merangkul Nayla dan
memintanya untuk duduk agar Nayla bisa sedikit merasa tenang. Ketika sudah
merasa tenang, dokter menyarankan Nayla untuk istirahat karena kalau tidak itu
juga akan berbahaya bagi dirinya.
Keesokan harinya, Nayla
datang menjenguk Dimas sambil membawa buah-buahan. Ketika baru memasuki kamar
Dimas, kali ini raut wajah Dimas menampakkan raut wajah sedih.
“Sudah istirahat saja,
kamu harus banyak-banyak istirahat mas.” ucap Nayla tersenyum.
Meskipun terlihat
khawatir, namun melihat Nayla dan mendengar suaranya saja sudah membuat Dimas
merasa tenang dan nyaman.
Seminggu sudah Nayla
menemani Dimas di rumah sakit, Nayla tidak terlalu memperhatikan kesehatan
dirinya. Sampai akhirnya, ketika hendak membeli makan siang penyakit Nayla
kambuh. Tubuh Nayla merasa kelelahan karena terus menemani Dimas di rumah
sakit. Ketika sedang menaiki tangga, pada anak tangga ke-6, Nayla kehilangan
kesadaran dan terjatuh dari tangga. Beruntung tangga tempat Nayla terjatuh
berada di dekat resepsionis, seketika suster menghampiri Nayla dan meminta
suster yang lain membawakan brankar dorong dan membawa Nayla ke ruang ICU.
Dimas terbangun dan ada
firasat yang tidak enak yang dirasakannya. Dimas pun merubah posisinya dari
tertidur menjadi duduk. Sambil menunggu Nayla kembali, Dimas mendapati sebuah
kertas disamping bantalnya. Ternyata itu sebuah tulisan yang di buat Nayla.
“Hai kau laki-laki yang
selalu membuat aku menunggu hehe. Terimakasih karena kau mau menyempatkan untuk
bertemu denganku. Percayalah, aku sudah tahu akan penyakitmu itu mas. Kau
sering menyadari bukan bahwa setiap bertemu denganmu aku suka menampakkan raut
wajah khawatir? Karena dari wajahmu aku merasa ada yang tidak baik-baik saja.
Angsana-angsana bulan ini mungkin akan menjadi saksi terakhir atas kebersamaan
kita selama di kampus ini. Maaf aku tidak memberitahumu juga bahwa akupun
mengidap penyakit yang sama denganmu, hanya saja penyakitku lebih parah. Cukup
aku yang mengkawatirkan dirimu, maaf juga sebagai calon dokter aku belum bisa
berbuat banyak, tidak, bahkan mungkin tidak sama sekali. Aku tidak kuat ketika
harus melihatmu terjatuh lemah diantara guguran-guguran bunga angsana, tadinya
aku ingin mencipta kisah-kisah indah pada tiap-tiap bunga yang jatuh itu. Namun
apadayaku, ternyata Tuhan menaburkan bumbu-bumbu lain disana. Aku hanya bisa
mendo’akan kesembuhanmu mas. Semoga kita bisa selalu bersama ya!” salam hangat
dari wanita imut nan lucumu hehe.
Membaca surat itu, air
mata Dimas bercucuran sangat deras. Sampai akhirnya, ada seorang suster yang
masuk ke kamarnya. Kebetulan suster tersebut mengenal Nayla.
“Sus, tau Nayla kemana?
Sudah satu jam dia pergi keluar, biasanya tidak selama ini.”
Suster menatap wajah
Dimas, tanpa sadar setetes air mata keluar dari mata suster.
“Suster ini,
perkataanku barusan itu tidak mengandung bawang wkwk. Tidak sama sekali,
bukan?” ucap Dimas tertawa.
Suster terdiam sejenak,
sambil menarik nafas dan memalingkan wajah dari Dimas.
“Nayla sedang berada di
kamar paling ujung dari kamar mu.” ucap Suster menahan sedih.
“Ngapain disana? Kalau
tidak salah itu kamar …”
Tanpa melanjutkan
perkataannya, Dimas segera menyabut paksa infus ditangannya. Sambil berjalan
memegang tembok, Dimas berusaha mendatangi kamar paling ujung itu. Sesampainya
disana, terdapat banyak mayat yang sudah ditutupi oleh selimut. Satu persatu
selimut dibukanya, hingga akhirnya dia melihat wanita yang selalu menemaninya
selama ini tertidur pulas dengan wajah yang sangat tenang. Bibirnya pucat,
badannya kaku, dan dingin. Tertegun Dimas saat melihat siapa yang berada
dibalik selimut itu.
“Sus, Nay kenapa sus?
Nay kenapa?” teriak Dimas.
Suster hanya terdiam
mendengar pertanyaan Dimas. Seketika Dimas teringat surat yang dibacanya tadi.
“Nay… Kenapa kamu ga
pernah bilang Nay kalau kamu pun mengidap penyakit yang sama sepertiku? Kalau
begitu kan, kita bisa sama-sama berobat, konsultasi ke dokter, atau apapun itu
Nay. Jangan seperti ini, kamu hanya pamit untuk makan siang dan kembali dengan
tubuh kaku dan dingin seperti ini. Kenapa Nay?!!!” tangis Dimas
“Maaf, memang
sebelumnya Nayla sering pingsan jika kelelahan karena kondisi jantungnya yang
semakin lama semakin melemah. Nayla sempat cerita bahwa dia memiliki seorang
laki-laki yang sangat dia sayangi dan mengidap penyakit yang sama. Karena tahu
kamu mengidap penyakit yang sama, Nayla lebig memilih menyembunyikannya
darimu.” ucap sang Suster.
Tangis Dimas semakin
menjadi, tak lama orang tua Nayla datang memasuki kamar jenazah itu. Melihat
Dimas terduduk disamping brankar dorong Nayla dan menangis, ayah Nayla
merangkul Dimas dan menenangkannya.
“Sudah tidak apa-apa
dim, do’akan saja agar Nayla pergi dengan tenang.” ucap Ayah Nayla.
Tanpa menunggu waktu
lama, Nayla di bawa pulang ke rumahnya karena akan dimakamkan. Dimas yang
seharusnya belum boleh keluar, meminta izin kepada dokter untuk ikut
mengantarkan Nayla untuk dikebumikan. Ketika menaiki mobil jenazah dan keluar
kampus, satu persatu bunga angsana menyelinap masuk.
“Tidak pernah aku
bayangkan Nay, bunga-bunga angsana yang memberimu semangat untuk menginjakkan
kaki disini sekarang mereka ikut mengiringi kepergianmu juga.” ucap Dimas dalam
hati.
Dua hari setelah
kepergian Nayla, kondisi Dimas semakin memburuk. Sampai akhirnya, Dimas pun
ikut menyusul Nayla. Lagi-lagi, bunga-bunga angsana masih ikut serta dalam
mengiringi kepergian Dimas untuk menyusul Nayla.
-tamat-
Komentar
Posting Komentar