Judul:
Miracle
Nama
penulis: Rilion
“Anda terlambat, silakan keluar!”
“Ta-tapi, Pak .... “
Baru saja satu langkah memasuki ruangan, tapi
langkah yang lain harus menyeretnya keluar. Kehadirannya tidak diterima dengan
baik.
“Pak, saya tidak ketiduran, jalanan hari
ini juga lancar.”
“Lalu, kenapa kamu bisa kesiangan?”
“Saya harus membuka kedai, karena ibu-“
“Selalu dijadikan alasan! Keluar!”
Niatnya ingin mencari ilmu, tapi waktu
tidak ingin dibuat menunggu. Harus selalu tepat waktu, dan pernyataan tidak
lagi berarti tanpa adanya sebuah kepercayaan.
“Haruskah aku berhenti kuliah? Tapi
bagaimana dengan mimpi-mimpiku?”
Hari ini kedainya sangat sepi, belum ada
pembeli yang ingin singgah di kedainya atau memang kedainya sudah tidak
berkualitas lagi.
“Roti bakar rasa keju satu!”
“Mbak? Mbak Layzi?” tanya seorang pelayan menyadarkan
lamunannya.
“Eh, iya? Ada apa?” Layzi melihat seorang
pria dengan muka penuh lebam terutama di sekitar mulutnya. “Ya, ampun! Kok biru?!”
“Hari ini cuaca sangat cerah, makanya langit
biru.”
“Bukan, maksud-“
“Roti bakar rasa keju satu,” potongnya, lalu
menghampiri meja makan.
Layzi kesal kepada dirinya sendiri, kenapa
dia harus peduli kepada pria itu? Pria asing yang membuatnya khawatir.
“Jangan ngumpat, entar rotinya enggak enak.”
“Loh, kok ada di sini?” Layzi tersentak, melihat pria asing itu sudah berada
di dapurnya.
“Biar enggak kaget, kenalan dulu. Namaku Bohul.”
“Ini ... rotinya sudah matang.”
“Aku lagi mau kenalan, bukan roti bakar,”
elak Bohul.
“Kenalan sama rotiku ‘kan?”
Bohul terkekeh. “Boleh, asal ditemenin
kamu.”
Layzi meremas-remas kedua tangannya yang
mulai dingin. Hatinya gelisah. Pertama kalinya dia duduk berhadapan dengan pria
yang baru dikenal.
“Aku ingin mendengar kamu bercerita,
supaya makannya tambah lahap.”
“Emm ... aku mau berhenti kuliah aja.
Semua mimpi-mimpiku harus kuganti, tidak ada lagi harapan yang harus
kuperjuangkan. Aku bukan mahasiswi teladan yang suka menaati peraturan. Bukan
pula mahasiswi berprestasi pemilik IPK tertinggi.”
Bohul menghabiskan potongan roti bakar
yang terakhir, lalu mengunyahnya sampai habis.
“Terima kasih sudah mau bercerita,
akibatnya aku makan secepat kereta,” ujar Bohul. “Cuacanya panas, tenggorokanku
jadi kering.”
“Eh, lupa belum bawain minum. Mau apa?”
“Air putih biasa.”
“Katanya cuaca panas, kenapa enggak
minuman dingin?”
Bohul tersenyum, mereka saling menatap
beberapa detik. “Wajahmu terlalu menyegarkan.”
“Mbak, ibu kejang-kejang!”
Air mata Layzi bercucuran, sulit untuk
dihentikan bahkan menghiraukan perkataan
Bohul. “Panggil ambulans, Bi!”
Layzi terkulai lemas di lantai rumah sakit,
jiwa dan raganya butuh kabar baik dari seorang dokter yang sedang memeriksa
ibunya.
“Mohon maaf, kondisi pasien saat ini
mengalami koma. Penyakit kankernya sudah mencapai stadium akhir, hanya
Tuhan-lah yang mampu memberi keajaiban.”
Detik itu juga, Layzi tidak memercayai
bahwa tugas dokter adalah membantu orang yang sakit. Dokter hanya bisa menambah
luka, bukan mengobati.
“Tuhan, aku percaya atas kuasa-Mu. Tolong
sadarkan ibuku dari koma,” pinta Layzi dengan bibir yang keluh.
Pikirannya kosong, cahaya sudah menjadi
kegelapan. Layzi pingsan.
***
“Kukira aku mati, pergi duluan meninggalkan
ibu.”
Bohul membuang napasnya pelan. “Kalau kamu
mati, siapa yang pertama kali dilihat saat ibumu terbangun dari koma?”
Layzi menangis, menutupi wajahnya dengan
kedua tangan.
“Kenapa Tuhan memberiku cobaan? Apa Tuhan
ingin melihat aku bersedih? Apa Tuhan tidak rela jika aku mendapatkan
kebahagiaan?”
Bohul tidak berkata-kata lagi, dia mendekap
erat tubuh Layzi. Memberikan sedikit ketenangan walau belum tahu sesakit apa
hatinya sekarang. Bohul tahu, dia hanya orang asing yang tiba-tiba datang ke dalam
kehidupan Layzi, dan ingin mengetahui kehidupan Layzi lebih jauh lagi.
“Maaf sudah memelukmu tanpa izin.” Bohul
melepaskan pelukkannya.
“Aku tidak bisa bilang kenapa-kenapa,
karena setelah sekian lama aku bisa merasakan kembali pelukkan hangat dari
seorang lelaki.”
“Ayahmu?”
“Pergi setelah mengetahui penyakit ibu.”
“Kamu adalah wanita tangguh yang pernah
kutemui,” balas Bohul terkagum-kagum.
“Kamu tidak tahu aja, kalau ragaku sudah
rapuh.”
“Aku sudah tahu. Hebatnya kamu, bisa
menutupi kesedihan itu,” ucap Bohul sambil mencolek ujung hidung Layzi. “Makan
dulu, supaya di hari esok kuat untuk bahagia.”
Sudah satu minggu ibunya Layzi terbaring
lemah di rumah sakit. Sejak satu minggu itu pula, hubungan Bohul dan Layzi
semakin akrab.
“Aku sudah mengenalmu selama satu minggu
lebih, tapi kamu belum juga memberi tahu namamu!” ujar Bohul pura-pura kesal.
“Aku percaya kamu sudah tahu.”
“Aneh, ya. Kenapa orang-orang di sekitarmu
tidak memercayai perkataanmu? Padahal bibir indahmu selalu mengatakan hal yang
benar.”
“Tidak selalu, tapi kuusahakan.”
“Bohul?”
“Iya?”
“Terima kasih sudah datang ke dalam
kehidupanku. Duniaku yang tadinya abu-abu, dan dipenuhi kisah pilu sudah
berubah menjadi lembaran-lembaran baru yang penuh haru.”
“Aku lebih membutuhkanmu di sisiku.
Tanpamu, bumi ini gelap. Dari senyummu, aku bisa mengerti bahwa kebahagiaan akan
selalu hadir bagi orang-orang yang tulus sepertimu.”
“Eh, ada pembeli tuh!”
“Mbak, pesan roti bakarnya satu!”
“Iya, ditunggu sebentar!”
“Kenapa harus ada pembeli, sih?! Enggak
tahu apa, kalau aku sama Layzi lagi sweet
moment,” gerutu Bohul.
Matahari pamit untuk beristirahat,
sedangkan bulan siap menerangi gelapnya malam. Layzi dan Bohul juga ikutan pamit dari kedai, karena sebentar lagi
akan pergi ke rumah sakit untuk menemui ibunya yang sudah tersadarkan dari
koma.
“Beneran ibumu sudah terbangun dari
komanya?”
“Iya. Tadi Bi Ina memberi tahuku, maaf
belum sempat ngasih tahu.”
Betapa bahagianya Layzi malam ini. Semilir
angin malam menyapu setiap helaian rambutnya di sepanjang perjalanan. Kerlipan
bintang menjadi saksi bahwa Bohul dan Layzi pernah tinggal di bumi.
“Ibu!” Layzi memeluk ibunya sangat erat. Layzi
percaya, Tuhan akan memberi kado terindah setelah dia menghadapi berbagai
cobaan dalam hidupnya.
Layzi melepas pelukkannya. Bukan tidak
ingin berlama-lama, tapi dia harus memperkenalkan seseorang yang membuatnya
kuat sampai detik ini.
“Bu, perkenalkan ini Bohul, temanku.”
Bohul menyalami ibunya.
“Pacar juga boleh,” balas ibunya sambil
tersenyum. Bohul membalas senyumannya.
“Kalau jadi pacar aja dibolehin, berarti
jadi suami Layzi juga boleh ‘kan, Bu?” tanya Bohul bersemangat, karena sudah diberi
lampu hijau.
“Kalau urusan itu, ibu serahkan sama Layzi.”
“Apa?” tanya Layzi malu-malu.
“Mau ‘kan jadi istriku?”
Layzi tersipu malu, jantungnya berdegup
lebih kencang. Layzi memejamkan kedua matanya, berharap kesedihan tetap ingin
singgah agar Bohul selalu ada di sampingnya, menguatkan dirinya, dan setelah
itu kebahagiaan selalu bersamanya.
“Iya Bohul, aku mau.”
-TAMAT-
Komentar
Posting Komentar