Hikmah Dibalik Peristiwa

Oleh Harinay

Secangkir kopi dan goreng pisang menemani paginya, di pegunungan yang asri, Seorang Ibu dan Bapak yang sudah paruh baya menantikan anak kesayangannya. Namun tak kunjung datang, mereka pun segera bergegas  untuk bekerja. Sawah itu tampak mengering. Namun hujan datang memberikan rahmat. Senyum tulus pun tergambar nyata dari wajah si Ibu dan Bapak.

Bagi mereka sawah adalah tempat mencari nafkah. Meskipun sang mentari sangat terik, tak sedikitpun membuatnya lelah bekerja. Cangkul adalah senjatanya yang setiap pagi dipikul oleh si Bapak.

“Pak, makan dulu” teriak si Ibu.

Seketika si Bapak pun menghampiri si Ibu, yang sudah menyiapkan makanan untuk disantap. Sungguh indah di pandang oleh aksa. Sementara anaknya mencari ilmu di tempat yang jauh.

“ Bu, kira- kira anak kita sudah makan atau belum ya?”

“ Ia pak, ibu juga kepikiran “

Begitulah mereka, selalu mengkhawatirkan anaknya, padahal anaknya mungkin pada saat itu sedang makan enak di sebuah restoran. Atau sedang asik bermain bersama teman sebanyanya.

            Adzan berkumandang, sarayu menyibak pepohonan, daun nya pun melambai- lambai. Bagaskara nampak di atas kepala, terik sungguh terik. Si Bapak dan Ibu pun berhenti bekerja, mereka berdua pulang kerumah untuk menunaikan ibadah shalat dzuhur. Setelah selesai shalat tak lupa mereka berdo’a dan di sela- sela do’anya selalu terselip nama anaknya.

“ Ya Allah mudahkanlah kami dalam mencari rizki yang halal, lindungilah selalu keluarga kami dari mara bahaya. Sehatkanlah selalu anakku yang sedang menuntut ilmu. Semoga dia menjadi anak yang shaleh dan shalehah.”

Seperti itulah do’anya. Ingatlah sobat, selain do’a kedua orang tua. Sebagai anak sudah sepantasnya kita mendoakan mereka juga. Karena salah satu amalan yang tidak akan terputus meskipun kita sudah meninggal dunia, anak shaleh yang selalu mendo’akan kedua orang tuanya.

            Mereka tak pernah meminta apa- apa dari anaknya. Melihat anaknya menjadi orang yang shaleh dan sholehah , serta dapat hidup lebih baik dari mereka. Itulah yang kedua orang tua harapkan.

“ Pak, anak kita kok bulan ini belum pulang- pulang ya ?”

“ Ia bu,  Bapak sudah kangen ingin sekali melihatnya.”

Sesaat kalbu teriris, terdayuh. Sedumu adalah sebab anakmu.

Lantas, apa yang membuat si anak tak kunjung pulang?

Jadwal kuliah yang padat, banyaknya organisasi yang diikuti sehingga hari libur pun masih beraktifvitas di kampus, dan janji untuk bermain dengan kawan- kawannya di waktu luang. Lantas mengapa tak menyisakan sedikit waktu untuk bertemu Bapak dan Ibu yang sudah menanti di kampung halaman. Di era  digital ini, seakan tak membantu si Bapak dan Ibu yang saat itu sedang rindu. Handphone pun mereka tak punya.

***

Di ruang yang berbeda, si anak pun memikirkan kedua orang tuanya. Malam – malam panjang ia lalui sendirian, keluhannya hanya mampu ia pendam. Rasa rindu selalu menghantuinya hingga air mata pun tak mampu ia bendung. Hanya do’a yang mampu ia berikan untuk kedua orang tuanya yang kini sedang bekerja keras.

“ Mah, Pak, aku rindu.” Ucapnya sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya.

Ia ingin sekali tiap hari bercakap dengan kedua orang tuanya meski hanya lewat handphone­. Saling percaya adalah kunci bagi mereka, saling percaya bahwa si anak sedang menuntut ilmu dengan sungguh- sungguh dan kedua orang tua sedang mendo’akan serta bekerja untuk anaknya.

“ Payoda menghitam

Mengingatkan luka yang terpendam

Namun kuhempas jauh saat anila berhembus kencang

Diiringi butiran- butiran kecil yang berjatuhan

Terkenang dalam sebuah genangan

Sunyi ditengah rintikan hujan”

Perjalanannya sudah cukup jauh, namun terkadang ia masih ragu untuk meneruskannya. Motivasi terbesarnya, kini kedua orang tuanya. Ia satu- satunya harapan keluarga. Ini bukan beban, jalani saja dengan perlahan, buktikan bahwa kamu bisa.

“ Sejauh apapun tempat yang kamu tuju, jika hanya berdiam tanpa melangkah, takkan pernah sampai. Melangkahlah meski perlahan, raihlah meski banyak halang rintangan.”

Suara adzan subuh telah berkumandang, derap langkah kaki mulai terdengar. Perlahan ia membuka jendela kamarnya. Pemandangan pertama yang ia lihat ada seorang bapak- bapak yang sudah tua, mengenakan peci, sarung dan baju yang rapi langkahnya tertuju pada mesjid. Adapula yang sedang mendorong gerobak, mempersiapkan dagangannya. Aktifvitas kehidupan telah dimulai.

Setelah melaksanakan kewajibannya, ia menyalakan televisi, menonton berita yang saat ini sedang viral. Makhluk kecil tak kasat mata yang menggemparkan dunia, dari Wuhan asalnya ternyata telah menyebar ke Indonesia. Betapa kaget ia mendengarnya. Ia pun segera mencari informasi terkait virus tersebut.

Kring..............

Handphonenya berbunyi, ada pesan whatsaap dari grup kelasnya. Isinya surat pemberitahuan bahwa perkuliahan akan dilaksanakan secara daring. Tak banyak membuang waktu, ia langsung berkemas untuk pulang kampung. Menemui kedua orangtuanya yang sangat ia rindukan.

            “ Aku harus pulang” Ucapnya.

Sang mentari membuka hari dengan kilaunya. Kendaraan- kendaraan mulai ramai, langkahnya sangat cepat, karena ia tak sabar untuk segera bertemu dengan orang tuanya. Tangannya melambai menghentikan bus yang sedang melaju. Ia pun langsung naik.

            “ Alhamdulillah, busnya tidak penuh.” Ucapnya dalam hati.

Ia benar- benar sangat memperhatikan sekitar, masker senjatanya untuk jaga- jaga. Karena mencegah lebih baik, dari pada mengobati. Ia selalu menikmati setiap perjalannya, karena disetiap perjalanan selalu ada cerita yang berwarna, sehingga tak terasa perjalanannya yang cukup jauh pun sampai. Tak banyak yang ia ucapkan, hanya mampu bersyukur kepada sang maha kuasa yang telah memberikannya nikmat yang sangat luar biasa. Rumah yang selama ini ia rindukan kini di depan mata, ketika salam diucapkan, bidadari itu yang pertama kali membuka pintu dan memberikan senyuman terindahnya. Matanya berkaca- kaca namun pertanda kebahagiaan. Kini saatnya ia pecahkan segala kerinduan.

***

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Munafik