Cermin

 Karya : Dimensi lain

"Ada apa dengan tatapanmu nona? Sudah lelahkah engkau menahan segala beban dalam hidup? Atau bahkan kau tak sanggup lagi menghadapi beban hidupmu?" tanyaku ketika sedari tadi ku pandang nona yang tengah meringkuk sembari menatapku tak terlihat jelas memang karena wajahnya tertutup helai rambut yang sangat tidak karuan, namun aku dapat melihat jelas matanya dengan tatapan yang tak dapat aku artikan, "Hey, kenapa diam saja? Apakah benar yang aku katakan tadi?" nona tersebut masih terdiam dengan ekspresinya yang makin tak dapat aku jelaskan. Kemudian nona tersebut mengeluarkan sesuatu dibalik saku jaketnya yang telah lusuh, "Ya ampun nona! Tunggu apa yang ingin kau lakukan?" akupun terkejut ketika kulihat benda yang dikeluarkannya adalah sebilah pisau. "Hey hey tenang nona, semua dapat diselesaikan secara baik-baik bukan?" Ucapku sambil gemetar takut-takut ia akan menerjang dan membunuhku dengan pisau itu, namun aku salah ternyata nona tersebut mengarahkan pisaunya bukan ke arahku melainkan kearah dirinya sendiri. "Nona..." panggil ku dengan nada merintih dengan perasaan campur aduk, "Kau tidak bisa seperti ini nona, kau tahu kan bahwa ini salah?" nona tetap terdiam "Ayolah dunia masih menunggu aksi hebatmu. Apa kata mereka ketika panutan mereka melakukan hal tak senonoh seperti ini?" terdengar jahat memang berbicara seperti ini yang sebentar lagi ingin mengakhiri hidupnya, namun aku terpaksa mengatakan ini agar nona itu tersadar akan perbuatannya itu!.

 

Nona masih belum memberi respon, namun akhirnya mulutnya bergerak, aku tidak dapat mendengar apa yang ia katakan secara jelas namun indraku menjelaskan bahwa kata yang baru saja ia ucapkan adalah 'Aku lelah', aku termenung tidak dapat memberi tanggapan lebih dan memilih untuk memberi waktu untuknya. "Aku lelah sayang, aku lelah untuk selalu dituntut memahami hal yang tak pernah bisa aku pahami. Menerima hal yang tak bisa aku terima. Mengetahui hal yang tak pernah ingin aku ketahui! Aku lelah bahagia diatas kesedihan yang terpaksa ku kubur dalam-dalam. Aku lelah menyesali hal yang tak seharusnya aku sesali. Aku lelah dengan segala permainan konyol semesta. Aku lelah... aku lelah berdiri sendiri." Nona menangis, aku sedikit terkejud karena sebenarnya aku tahu nona ini, ia adalah orang yang hebat, sebesar apapun badai yang ia terjang aku tak pernah melihat ia mengeluarkan air mata. 

"Hey nona, bukankah kau pernah berkata bahwa 'tak ada gunanya untuk menangisi keadaan, lebih baik kau persiapkan diri untuk menghadapi masa depan'. Kaulah yang mengkampanyekan kata-kata itu" terlihat nona sedang memikirkan apa yang barusan aku katakan "ya kau benar, tapi aku hanya... lelah". Sekarang giliran aku yang terdiam, memberi sedikit ruang untuk nona yang kini menangis semakin keras, lagi pula yang sebenarnya dibutuhkan manusia hanyalah sebuah ruang bukan?

 

Setelah beberapa saat hening aku kembali membuka percakapan "Nona, bukankah kau punya banyak kerabat? Mengapa tidak mencoba menceritakan keluhmu kepada mereka?" kali ini tatapan nona berubah menjadi seperti sangat marah "mereka? Mereka semua sudah... h i l a n g. Dan yang tersisa hanyalah ketidak pahaman mereka akan aku!". 'ya ampun, ternyata berat sekali hidup nona ini, ia bahkan tak memiliki tempat untuk sekedar bercerita' ujarku dalam hati. "Lalu apa yang nona inginkan sekarang?" aku menyerah berdebat dengan nona ini, aku sadar bahwa ia hanya butuh pengertian dan sandaran. Nona tersenyum sambil berkata lirih "mati..." lalu mengarahkan pisau ke perutnya sendiri "TIDAKKKKK" teriaku histeris, namun aku terlambat, tubuhku hanya bisa membeku melihat tubuh nona yang mulai terpenuhi dengan darah.

 

Aku benar-benar tidak dapat melakukan apapun lagi, karena sebenarnya nona adalah diriku sendiri yang sedang bercemin didepan kaca. Ya, aku kalah, pada ego dan pikiran iblis yang menghasutku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Munafik