Surat Putih dan Keajaiban (Cerpen)

Karya: Fujiasep 

Sore itu, kulihat Ayah sedang duduk termenung di halaman rumah. Kali ini, tatapannya berbeda. Tanpa banyak berfikir aku menghampirinya. Ayah melihatku dan berpura-pura tersenyum. Wajah itu, wajah yang aku benci. Senyuman manis Ayah yang penuh dengan kebohongan, menjadi jurus andalan ketika aku datang menghampiri Ayah yang sedang tersenyum.

"Ayah kenapa?" tanyaku. "Kenapa gimana? Ayah gapapa kok, sayang." jawab ayah. Tanpa banyak bicara, aku hanya menatap Ayah. Ayahku memang pandai sekali menyembunyikan perasaanya. Itu yang membuatku terkadang membenci salah satu dari sifat Ayah. Sejenak aku berfikir, apa memang karakter semua laki-laki seperti Ayah? Jika iya, aku harap pendampingku nanti tidak seperti Ayah yang selalu tersenyum di balik keresahan hatinya.

Keesokan harinya, aku mendapati sepucuk Surat di kamar Ayah dan Ibu. Aku memang mampir ke kamar Ayah dan Ibu untuk meminta izin karena akan pulang malam hari ini. Ketika melihat sepucuk surat itu, aku merasa kalau aku harus membuka surat itu. Ketika aku pegang, ternyata itu hasil laboratorium. Rasa penasaranku tidak bisa aku tahan, tanpa berfikir panjang Aku membuka surat itu.

Belum habis aku baca, tiba-tiba pintu kamar Ayah dan Ibu terbuka. Aku terkejut dan segera meletakkan surat itu. "Pantas saja Ibu cari kamu di kamar tidak Ada, ternyata disini." ucap ibu sambil menghampiriku. Aku berusaha mengalihkan perhatian ibu, tapi aku tau ibuku adalah sosok wanita yang sangat peka terhadap lingkungan sekitarnya. Jadi, apapun kesalahan yang aku lakukan pasti ibu akan menyadarinya. Benar saja, ketika langkah kakinya mendekatiku tatapan ibu langsung jatuh kepada surat putih yang ada di meja kamar. Aku tahu, ada hal yang ingin ibu sembunyikan dariku.

Pukul 19.00 aku baru sampai di rumah. Aku lihat rumah masih sepi, sepertinya Ayah dan Ibu lembur hari ini. Tanpa menghilangkan rasa penasaranku, langkah kaki membawaku memasuki kamar Ayah dan Ibu. Setelah memasuki kamar, aku semakin yakin bahwa memang ada yang disembunyikan dariku. Lagi-lagi surat putih yang tadi pagi aku temukan di meja kamar mereka, kini menghilang. Sepertinya mereka benar-benar ingin merahasiakan isi dari surat tersebut. Seketika air mataku menetes tanpa aku minta. Memang apa salahku sehingga kedua orang tuaku merahasiakan isi dari sebuah surat putih itu.

Pagi harinya, aku merasa tidak memiliki gairah. Bahkan ketika sarapan, rasanya aku tidak ingin melihat wajah kedua orang tuaku. Ketika berpamitan, aku tidak berani memandang bola mata mereka. Hatiku seakan teriris karena ada hal yang mereka sembunyikan dariku. Ketika di sekolah, aku berfikir tentang surat itu. Memang belum habis aku baca, tetapi aku tau kalau itu adalah hasil laboratorium rumah sakit. Aku terdiam sejenak memikirkan nama siapa yang tertulis di dalam surat itu. Aku pun mencoba mengingat kondisi kedua orang tuaku, tapi semakin aku ingat semakin aku tidak tahu siapa yang sakit. Karena sejauh ini wajah dari kedua orang tuaku sama sekali tidak menunjukkan wajah-wajah seperti orang yang sakit. Spontan aku mengepalkan tangan dan memukulkan tanganku ke tembok. Tanpa aku sadari, tanganku sudah memar akibat pukulanku yang terlalu keras.

Sepulang sekolah, aku memeriksa luka memar pada tanganku. Cukup biru untuk kulitku yang tidak terbiasa melakukan sesuatu yang kasar. Sementara itu, aku mengambil beberapa es batu dan menaruhnya pada sapu tanganku. Kemudian aku mengompres tanganku itu. Cukup menenangkan rasanya, walau sedikit terasa perih.

Tiba-tiba saja Aku mendengar seseorang sedang bertelepon. Suaranya terdengar seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu. Karena penasaran, aku mendekati sumber suara itu. Ternyata sumbernya berasal dari teras depan rumah dan itu suara Ayah. Aku terkejut karena jarang sekali Aku melihat Ayah masih sore begini tetapi sudah ada di rumah.

"Jadi bagaimana dok? Apa hasilnya positif ?" tanya Ayah khawatir. Aku tidak tahu, apa yang ayah bicarakan dalam percakapan di teleponnya itu. Tapi aku tahu kalau ayah sedang berbicara dengan seorang dokter. Seketika aku melihat Ayah perlahan menjatuhkan diri ke lantai. Aku terkejut, sepertinya Ayah mendapat kabar yang tidak enak.

Dan untuk pertama kalinya, Aku melihat Ayah menangis. Aku tahu, ada Luka yang begitu dalam yang ayah rasakan sekarang. Tapi apa? Adakah yang bisa menjelaskan padaku? Apa ini soal Surat laboratorium itu? Memang apa isinya?. Tanpa sadar, aku memukul tembok dengan tanganku yang baru tadi pagi aku lukai. "Aww." teriakku.

Ayah terkejut ketika mendengar aku teriak. Tanpa banyak berfikir, ia menghapus air mata di pipinya dan menghampiriku. "Kamu kenapa put?" tanya Ayah khawatir. Aku menatap mata Ayah sebentar. Tanpa sadar, air mataku mengalir. Ayah langsung memelukku. Aku menangis dalam pelukkan Ayah sambil memukulnya. "Ayah yang kenapa? Tiba-tiba menangis seperti itu! Sebenarnya apa yang Ayah dan Ibu sembunyikan dari Putri?" ucapku menangis.

"Maaf nak, ini bukan waktu yang tepat untuk kamu tahu tentang hal ini. Terlebih kamu sebentar lagi akan melaksanakan ujian, ayah ingin kamu fokus ujian dulu." ucap ayah menenangkanku. Aku tidak mengerti lagi, seberapa besar memangnya isi surat putih itu? Tak lama kemudian, Ibu datang. Tatapan Ibu berbeda dan seketika ibu memelukku dengan sangat eratnya. Saat dalam pelukkan Ibu, ada hal aneh yang aku rasakan. Tapi pelukan Ibu yang begitu hangat dan menenangkan, membuatku hanyut dalam ketenangannya.

"Sudah, tidak ada apa-apa sayang. Ibu tahu, kamu sempat melihat surat putih yang ada di kamar Ibu dan Ayah. Sekarang do'akan saja agar semuanya baik-baik saja ya." ucap Ibu tersenyum. Melihat senyuman Ibu saat itu dan senyuman ayah kemarin aku sadar bahwa tidak selamanya garis yang terbentuk dalam wajah seseorang menggambarkan keindahan. Dalam senyum Ibu dan Ayah aku melihat sebuah ketulusan, hanya saja terdapat sebuah kebohongan didalamnya.
.
.
.
Beberapa bulan kemudian, aku melihat Ibu sedang menyisir rambut di kamarnya. Aku sangat suka ketika melihat ibu menguraikan rambut panjangnya yang hitam dan lebat. Sungguh rambutnya itu menambah pesona yang ada pada diri Ibu. Akan tetapi, ada yang berbeda dari rambut Ibu. Rambut Ibu terlihat lebih tipis dari biasanya dan juga lebih pendek. Aku terdiam, apa selama ini aku kurang memperhatikan Ibu sampai-sampai aku tidak tahu kalau Ibu potong rambut.

Aku tidak terlalu mempermasalahkan tentang rambut Ibu, aku pun pergi ke kamar untuk melanjutkan belajarku karena ujian sudah semakin dekat. Setiap pukul 20.00, Ibu masuk ke kamar ku untuk memberikan segelas susu hangat. Dan Ibu selalu berpesan padaku untuk tidak tidur lebih dari jam 20.30. Setelah ku teguk habis segelas susu buatan Ibu, aku beranjak pergi ke atas kasur untuk tidur. Dan hampir di tengah malam aku terbangun, selain untuk Shalat malam akupun melanjutkan belajarku. Entah mengapa dari dalam kamar aku sering mendengar suara air yang mengalir begitu deras, aku tahu itu dari kamar mandi Ayah dan Ibu.

Beberapa hari kemudian ketika aku bangun di tengah malam, tidak biasanya aku merasa sangat lapar. Aku pun pergi keluar kamar untuk mencari makanan di dapur. Ketika berjalan menuju dapur, aku melihat pintu kamar Ayah dan Ibu terbuka sedikit dengan cahaya lampu yang masih menyala. Aku penasaran apa yang sedang mereka lakukan sehingga aku diam-diam melihat ke dalam kamar Ayah dan Ibu. "Mas, aku sudah tidak kuat lagi. Semakin hari, badanku semakin lemas. Aku pun tidak sanggup jika harus terus berbohong kepada Putri. Setiap hari aku harus menghias wajahku agar tidak terlihat pucat di hadapan Putri, itu menyakitkan untukku Mas." ucap Ibu menangis. Aku tidak bisa melihat wajah Ayah dan Ibu dengan jelas, tapi aku bisa mendengar rintihan suara Ayah yang menangis.

"Jangan sekarang sayang. Setidaknya tunggu sampai Putri beres ujian." ucap Ayah sedih. "Tapi, bagaimana kalau..." ucap Ibu terpotong oleh pelukan Ayah. Sungguh aku semakin tidak mengerti, ada apa ini? Aku ingin menghampiri Ayah dan Ibu. Tapi sepertinya aku akan membiarkan mereka larut dalam kesedihan yang aku tidak tahu itu.

"Put, bangun sayang." suara serak Ayah membangunkanku. Aku membuka mataku, ketika itu wajah Ayah terlihat sangat lesu. "Loh tumben, Ayah yang bangunkan aku. Ibu kemana yah?" tanyaku. "Untuk beberapa hari, Ibu pergi menginap di rumah Nenek dulu ya. Katanya, Nenek kangen sama Ibu." ucap Ayah tersenyum. Aku melihat wajah Ayah dan memikirkan kebohongan apa lagi yang mereka perbuat. "Kamu Ujian jam berapa put?" tanya Ayah. "Jam 10.00 yah." jawabku. "Oh yasudah, sekarang kamu mau makan apa? biar Ayah yang masak." jawab Ayah tersenyum. "Loh Ayah gak kerja?" tanyaku. "Engga, Ayah sedang libur sayang." jawab Ayah. "Yah, aku boleh tanya sesuatu sama Ayah? tanyaku lagi. Ayah menatapku aneh dan membalas pertanyaanku dengan mengangguk. "Kenapa Ayah sayang sama Ibu?" tanyaku. "Loh kok kamu nanya gitu sih? jawab ayah tertawa. "Ya gapapa dong hehehe." jawabku tertawa. "Kenapa Ayah sayang sama Ibu ya? Hmm... Yaa karena bagi Ayah, Ibu adalah sosok wanita yang sangat hebat. Ayah kenal Ibu ketika Ayah duduk di bangku SMA. Saat pertama kali berpapasan dengan Ibumu, Ibumu tersenyum kepada Ayah. Dari situ, setiap ketemu Ibu pasti Ayah selalu merasa deg-degan. Nah Ayah jadi penasaran sama Ibu, lalu Ayah memberanikan diri untuk berkenalan sama Ibu. Setelah itu, kita sering bertukar surat karena waktu zaman Ayah dan Ibu kan belum ada HP hehehe. Nah dari bertukar surat, Ayah mengajak Ibu untuk jalan-jalan. Dan waktu itu, ada anak kecil yang datang pada Ibumu. Anak kecil itu menangis karena terlepas dari tangan Ibunya. Ayah sempat tertawa saat itu, karena Ibumu terlihat panik. Ayah hanya diam karena ingin melihat respond Ibu terhadap anak kecil itu. Dan Ayah semakin kagum dengan Ibumu karena mencoba mencari-cari Ibu dari anak kecil itu sampai sekitar 2 jam, kebayang kan lamanya. Ayah tidak mengerti dengan Ibumu, tapi hebatnya dia bisa mempertemukan anak kecil itu. Lanjut lagi, Ayah juga tahu kalau Ibumu orang yang tidak ingin di repoti, tapi jika sudah di repoti walaupun Ayah tau dia merasa sangat terpaksa tapi dia bisa dengan sabar melakukan hal-hal yang merepoti drinya. Sampai akhirnya, kita berpisah karena kita berbeda universitas. Saat itu, Ayah dan Ibu tidak terikat dalam sebuah hubungan. Jadi mungkin karena kesabaran Ibumu dan do'a kita yang tidak pernah lepas yang membuat kita akhirnya bertemu kembali. Bayangkan saja, semenjak Ayah dan Ibu kuliah kami sama sekali tidak bertukar surat apalagi mengetahui kabar satu sama lain. Ayah kuliah di Bandung sedangkan Ibumu kuliah di Jakarta. Sampai-sampai ternyata pertemuan Ayah dan Ibu terbilang lucu, karena Ayah dan Ibu bertemu di Masjid  Universitas Ayah. Ayah terkejut karena setelah hampir 3 tahun berpisah, kita ketemu lagi. Ibumu terlihat sangat cantik saat itu. Dan akhirnya kita berbicara kembali. Tidak ada yang berubah dari Ibumu yang ada dia semakin cantik dan senyumnya selalu bisa membuat Ayah jatuh hati. Setelah pertemuan itu, Ayah dan Ibu akhirnya bertukar kabar. Sampai akhirnya Ayah lulus kuliah dan langsung mendapatkan pekerjaan yang lumayan sedangkan Ibumu masih menyusun skripsinya. Beberapa bulan Ayah bekerja, Ayah semakin yakin dengan perasaan Ayah. Dan ketika Ibumu selesai sidang Skripsi, Ayah langsung melamarnya. Dari situlah perasaan Ayah kepada Ibumu semakin bertambah dan ketika Ibu melahirkanmu, Ayah semakin tidak ingin kehilangan kalian. Bagi Ayah, kalian adalah dua perempuan cantik yang sangat Ayah cintai." jawab Ayah.

Untuk kesekian kalinya aku melihat wajah ini, tapi untuk pertama kalinya aku melihat ketulusan dan kejujuran disana. Aku semakin mengerti betapa besar rasa sayang Ayah untuk Ibu dan Aku. Sungguh kami adalah wanita yang sangat beruntung memiliki seorang pria hebat dan penyayang seperti Ayah. “Ayah, aku mohon tolong beritahu aku sebenarnya Ibu sakit apa?” tanyaku. Aku tak kuasa menahan pertanyaan itu. Mata Ayah terlihat berkaca-kaca mendengar pertanyaan itu. Ayah mecoba tersenyum, hanya saja satu tetes air berhasil keluar dari salah satu bola mata Ayah. Ayah menatapku dengan tatapan sedih, lalu memegang kedua lenganku. “Begini sayang, Ibumu sedang mengandung adikmu.” ucap Ayah tersenyum. “Tapi kenapa Ayah terlihat begitu sedih bukannya senang?” tanyaku aneh. Ayah hanya menatapku, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya,

“Bukannya Ayah tidak senang, tapi kondisi janin Ibumu sangat lemah sayang. Belum lagi, Ibumu di diagnosis terkena kanker otak yang sudah parah. Mungkin kamu melihat perubahan dari rambut Ibumu, bukan begitu? Itu adalah salah satu dari efek pengobatan yang Ibu jalani akhir-akhir ini.” ucap Ayah sedih. Seketika badanku lemas, beruntung ada Ayah yang menahan badanku. Aku menatap Ayah dan menangis. “Yah, Ibu pasti sembuh kan yah? Ibu dan calon adik bayi Putri akan baik-baik saja kan yah?” ucapku menangis. Ayah tidak menjawab pertanyaanku. “Yah jawab yah!” jawabku memaksa. Seketika HP Ayah berdering, ada telepon masuk disana. Ayah mengangkat telepon itu sambil melangkah keluar rumah. Diam-diam aku mengikuti Ayah dari belakang. Aku tidak tahu dengan siapa Ayah berbicara. Tapi semakin lama, air mata Ayah mengalir begitu deras. Setelah selesai bertelepon, badan Ayah terlihat melemas dan Ayah mencoba menopang badannya untuk duduk diatas kursi.

Ayah benar-benar menangis, kedua tangannya terus saja mengusap air mata yang semakin lama semakin deras. Aku menghampiri Ayah sambil menangis. “Ayah kenapa? Tadi siapa yah? Ibu baik-baik saja kan yah? Ayah….” tanyaku merengek. Tanpa banyak bicara, Ayah langsung memelukku sangat erat. “Ibu… Ibu… Ibu kecelakaan sayang…” jawab Ayah menangis. Mendengar jawaban Ayah, badanku merasa semakin lemas. Aku jatuh dalam pelukan Ayah. “Ibu baik-baik saja kan yah? Adik bayi juga kan yah?” rengekku semakin kencang. Pelukan Ayah semakin jadi. “Adik bayi sudah tidak bisa diselamatkan sayang.” jawab Ayah menangis. Mendengar jawaban Ayah, tangisku semakin jadi. “Ibu ?! Ibu gimana yah?!” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan badan Ayah. “Ibumu… Kondisi Ibumu kritis.” jawab Ayah menangis.

Tanpa banyak berfikir, Aku menarik tangan Ayah untuk segera ke Rumah Sakit tempat Ibu di rawat. “Sebentar sayang, Ayah pesan taksi dulu. Ayah tidak kuat kalau harus mengendarai motor sendiri.” ucap Ayah pelan. Melihat kondisi Ayah, aku berusaha menenangkan Ayah dan mengambilkannya segelas air hangat. Setelah 10 menit menunggu, akhirnya kami berangkat ke Rumah Sakit.
.
.
.
Sesampainya disana, ku lihat Ibu yang sedang terbaring di tempat tidur tak sadarkan diri. Aku lari dan memeluk Ibu. Tangisku pecah, aku tak kuasa melihat Ibu yang terbaring disana. Wajahnya sangat pucat, kepalanya di perban dan terdapat luka-luka di bagian tangannya. “Ibu… bangun bu…” panggilku menangis. Ayah hanya berdiri di sebelahku. Seketika aku teringat cerita Ayah dan Aku tahu kalau hati Ayah sedang teriris sekarang melihat wanita yang sangat ia cintai terbaring pucat tak sadarkan diri. Aku dan Ayah adalah dua orang manusia yang paling bersedih hari ini, kami harus menghadapi kenyataan bahwa seorang wanita yang sangat berarti bagi kami harus terbaring di tempat tidur dengan kondisi yang kritis.

Sudah seminggu Ibu di rawat, akan tetapi kondisinya tidak mengalami perubahan. Tidak ada tanda-tanda Ibu akan sadarkan diri. Aku berusaha menenangkan diri, aku pergi jalan-jalan di sekitaran rumah sakit. Ketika sedang berjalan-jalan, aku lihat seorang pemuda yang ditemani seorang gadis sedang memegang HPnya dan duduk di taman Rumah Sakit. Aku duduk berjarak satu kursi dari mereka. Saat sedang duduk, ku dengar pemuda itu berbincang-bincang dengan seorang gadis di sampingnya. “De, besok hari Ibu. Kita kasih kejutan yuk ke Ibu.” ucap pemuda itu. “Hayu A, Ade ada rencana mau kasih bunga mawar ke Ibu.” jawab gadis itu bahagia. “Yasudah nanti sepulang darisini kita mampir ke toko bunga untuk membeli mawar untuk Ibu ya.” jawab pemuda itu tersenyum.

Aku terdiam menyimak perkataan mereka. Aku lupa bahwa besok adalah hari Ibu. Setelah ingat bahwa besok adalah hari Ibu, aku kembali ke kamar untuk mengecek keadaan Ibu. Sesampainya di kamar, Aku duduk di samping Ibu dan memegang tangan Ibu. Aku mencoba membangunkan Ibu dan azan Maghrib pun berkumandang. Aku mengusap air mataku yang sedikit menetes dan pergi wudhu untuk shalat maghrib. Setelah shalat, aku membaca Al-Qur’an di samping Ibu sambil memegang tangannya. Ketika sedang melantunkan ayat suci Al-Qur’an, teryata jari jemari Ibu mulia bergerak.

Aku bingung sekaligus senang. Aku mencoba memanggil dokter, tak lama kemudian dokter pun datang. Aku diminta keluar sebentar oleh dokter, karena tidak terlalu mengerti aku pergi keluar sambal menunggu Ayah. Ketika di luar, Ayah datang. Aku menghampiri Ayah dan berkata : “Yah, tangan Ibu bergerak yah”. Mendengar perkataanku, terlihat wajah Ayah Bahagia. Kemudian dokter keluar dan berbicara dengan Ayah. Setelah hampir 10 menit, dokter pun pergi meninggalkan Ayah. Ayah berjalan menghampiriku. “Gimana yah?” tanyaku. Ayah tersenyum menatapku. “Tadi, kamu bacain Ibu ayat – ayat Al-Qur’an ya?” tanya Ayah. Aku hanya menanggung menjawab pertanyaan Ayah. “Makasih ya sayang, berkat lantunan ayat suci kamu Ibu ada harapan keluar dari masa kritisnya.” ucap Ayah Bahagia. “Tapi kok bisa yah?” tanyaku. “Semenjak Ibumu menikah dengan Ayah, Ibumu selalu meminta kepada Ayah untuk melantunkan Al-Qur’an ketika hendak tidur. Dan surat yang selalu Ibu minta adalah surat Al-Mulk. Kata Ibu setiap kali dia mendengar Ayah melantunkan surat itu, dia merasa nyaman. Dan Ibu pun mengakui kalau salah satu alasan dia mau menerima Ayah sebagai pendamping hidupnya adalah karena Ibu jatuh cinta pertama kali kepada Ayah melalui lantunan surat Al-Mulk yang Ibu dengar pertama kali dari mulut Ayah.” jawab Ayah tersipu. “Benarkah itu Ayah? Memang sih tadi aku membaca surat Al-Mulk setelah shalat Maghrib disamping Ibu.” ucapku polos. “Ayah tersenyum mendengar jawabanku.

Tak lama, azan Isya pun berkumandang. Aku dan Ayah shalat berjamaah di kamar. Setelah itu, kami berdo’a agar Allah memberikan keajaiban berupa kesembuhan kepada Ibu. Walau aku tidak begitu yakin, penyakit yang Ibu punya bisa sembuh 100% akan tetapi aku yakin jika Allah sudah menghendaki Ibu sembuh, Ibu pasti akan sembuh.

Keesokan harinya, Aku membeli setangkai bunga mawar merah untuk Ibu. Karena reaksi Ibu semalam, Ayah sangat setia dengan Ibu dan terlihat tidak ingin jauh dari Ibu. Sekitar satu jam aku pergi keluar,selain untuk membeli setangkai mawar, aku juga membelikan Ayah makanan. Sesampainya di depan pintu kamar, aku mendengar Ayah sedang berbincang-bincang. Aku bingung, karena itu suara yang tidak asing. Perlahan aku membuka pintu kamar Ibu. Ternyata… Itu suara Ibu! Betapa bahagianya aku melihat Ibu sudah sadarkan diri. Badannya memang masih sangat lemas, tapi wajahnya terlihat begitu segar. Aku memeluk Ibu sambil mengucapkan “Selamat Hari Ibu”. Setangkai bunga mawar yang baru aku beli, aku berikan kepada Ibu. Wajah Ibu terlihat begitu Bahagia dan dia mencium keningku. Sungguh itu adalah momentum haru yang selama seminggu ini Aku dan Ayah nantikan.

Beberapa hari kemudian, dokter mengizinkan Ibu pulang ke rumah. Katanya kondisi Ibu sudah mulai stabil, meskipun Ibu harus melakukan serangkai pengobatan karena penyakit di kepalanya itu. Tapi dokter mendiagnosis bahwa ada kemungkinan penyakit di kepala Ibu bisa sedikit berkurang. Jika Ibu rutin mengikuti serangkaian pengobatan itu. Aku memang belum terlalu faham dengan penyakit Ibu itu, akan tetapi aku yakin Ibu adalah wanita yang kuat dan bisa melawan penyakit itu. Terlebih Ibu memiliki seorang pria hebat yang begitu menyayanginya.
.
.
.
Bulan demi bulan Ibu mengikuti serangkaian pengobatan dari dokter. Ayah pun selalu menemani Ibu dan hampir di setiap shalatnya selalu mendo’akan kesembuhan Ibu. Dan setelah hampir satu setengah tahun, dokter mengatakan bahwa penyakit Ibu sudah sembuh. Ibu dinyatakan sudah terbebas dari penyakit itu. Ayah selalu berkata : “Meskipun harapan Ibu tidak besar, tapi kita harus selalu berikhtiar dan berdo’a dengan yakin kepada Allah. Karena keyakinan yang penuh itulah yang akan memperbesar harapan yang kecil itu sehingga membuahkan sebuah keajaiban.”      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Munafik