Tuhan, Bukan “D-ia” yang Ku Mau (Cerpen)


Pagi ini matahari terbit membawa benih cinta yang pekat. Samar-samar terdengar lantunan indah dari kamar ibuku. Suara itu selalu tepat waktu membangunkanku di pagi hari. Suara ibu membaca Al-Qur’an. Keluargaku bukan keluarga kaya, ayah berhenti bekerja saat sepuluh tahun lalu divonis sakit jantung, kini aku dan ibuku lah yang mencari nafkah bagi keluarga ini.

Pagi hari, rumah akan ramai seperti pasar. Ibu melayani keperluan ayah sambil bolak-balik ke dapur, keempat adikku sibuk mempersiapkan perlengkapan sekolahnya masing-masing. Aku sendiri pun sibuk dengan diriku, tuntutan berangkat lebih awal, agar tak terlambat bekerja. Ah, seharusnya gadis seusiaku sedang asik kuliah tanpa beban bekerja, tapi tidak untukku. Aku harus kuliah sembari bekerja sebagai staff tata usaha di salah satu sekolah swasta ternama di kota ini. Aku pikir,  aku sedikit beruntung. Perlahan-lahan aku mencoba mengerti, betapa sulitnya mencari sesuap nasi, membuatku lebih bersyukur dan menghargai jerih payah ayah dan ibu.

"Thank you!" suara absensi jari tepat pukul 06.25 pagi.

Pagi ini akan ada seleksi penerimaan guru baru di sekolah ini, cukup banyak peserta yang hadir. Mereka orang-orang terpilih dan berprestasi, karena sekolah ini amat selektif dalam memilah-memilah tenaga pendidiknya. Selintas terbesit dibenakku rasa iri. Kapan aku akan bisa segera mendapat ijazah S1? Kapan aku bisa berprestasi seperti mereka?

"Miss Mandja, tolong catat nomor telepon Bapak itu untuk ikut interview dengan saya besok”, pinta ketua yayasan dengan sopan. Di suatu sudut kursi kantor nampak seorang pria tampan tersenyum padaku, nampaknya ia calon guru baru yang disebut Bapak oleh ketua yayasan tadi. "Permisi, Mas yang besok akan ikut interview dengan ketua yayasan? Boleh saya catat nomor teleponnya?" pintaku tanpa memandang jelas wajahnya. Ia lalu mendiktenya pelan.

Namaku Mandja, seorang gadis yang dibesarkan dari masa lalu yang keras, aku telah diajarkan bagaimana menahan sakit, bagaimana menyembunyikan perasaan, hampir setiap tangisan mampu ku kubur, menyisakan rasa perih yang membuat bibir kerap mengerucut bagai menahan setumpuk beban yang terkunci rapat di mulutku.
Sore ini aku pulang dengan setumpuk tugas dari kantor. Ke rumah hanya mampir untuk sekedar mengganti pakaian dan mengambil diktat kuliah, lalu bergegas menuju kampus. Aneh memang, ketika orang-orang bergegas meninggalkan kampus, aku justru sebaliknya. Duduk manis menunggu perkuliahan dimulai. Apa boleh buat, mungkin ini cara Tuhan membentuk kedewasaanku.
Sepulang kuliah, sebuah nampan berisi bubur kacang hijau tersaji di meja kamarku yang berantakan,  juga susu dan sebutir vitamin. Ibuku selalu memikirkan gizi setiap anaknya. Tanpa basa basi kusantap habis saja, ibuku akan amat bahagia melihat makanan di mejaku kosong.
Pagi ini di kantor tempatku bekerja, pria yang kemarin kuminta nomor teleponnya datang bersama ketua yayasan. Dion Ali Nur'alif, S.Pd.I, kutulis namanya di papan deretan guru baru. Nama yang bagus dan sepertinya dia baik, gumamku dalam hati. Kemudian kami saling menyapa. Entah mengapa dia yang terlihat seperti playboy ala Boy Band Korea, sedikit mencuri perhatianku. Semakin hari dia semakin menyenangkan untuk menjadi teman curhat. Entah bermula dari mana, sebulan lalu dua bulan Dion dengan pembawaannya yang dewasa sudah seperti kakak bagiku. Kedekatan kami berlanjut sampai kedunia maya, bertukar pin BB, akun facebook sampai saling follow akun twitter.

Siang ini turun hujan, dari balik jendela aku melihat anak-anak sekolah kegirangan bermain air hujan, padahal mereka hanya bisa menyentuh air yang mengalir lewat sela-sela genting sekolah. Semakin tertarik aku menonton tingkah polos mereka, dan keluar ruangan, melihatnya di teras kantor. Angin berhembus cukup kencang, beberapa percikan air terasa dingin menyentuh wajahku

 "Tolong ambilkan payung dan jemput aku ke sini!" pinta Dion dari depan kelas. Pria dengan mata cemerlang itu memandangku. Sembari membawa payung menuju ke arahnya, kubiarkan tanganku merasakan butiran hujan yang jatuh. Saat sampai, Dion bergegas masuk ke bawah payung yang ku bawa. Dion hanya memberi isyarat dengan telunjuknya, arah kantor. Mungkin dia ingin aku mengantarnya kembali ke kantor. Berada dalam satu payung dengannya membuat hujan seolah jatuh dengan pelan, teramat perlahan. Aku ingin waktu dapat berhenti sekejap waktu itu.

Seperti cahaya, aku tak ingin memadamkan harapan. Malam-malam telah menjadi saksi sujud-sujudku yang panjang. Aku jatuh cinta di waktu yang tak tepat, dan rasanya: perih.  Telah terlalu lama perih ini ku simpan dan kusembunyikan rapat–rapat. Tuhan, hanya ketika bersimpuh dihadapan-Mu lah, aku bebas menceritakannya. Tuhan, bukankah kita telah membuat kesepakatan? Bahwa aku akan mencintainya diam-diam. Secarik harapan tersimpan rapat namun begitu kuat, hingga mencengkram isinya. Kau dengar? Lirih debar hati ini seolah ingin berlari dan menangkap seutas tali yang menggantung. Risau hati menantikan fajar. Malam terasa begitu panjang. Jarum jam menunjukan pukul 02.00 pagi. Semakin kuperhatikan jam dinding itu seperti menyeringai lebar, bagai serigala yang menatap lapar mangsanya. Ia sedikit tertawa ke arahku.

"Apa yang kau pikirkan?" ujar jam dinding itu. Aneh memang tapi justru bingkai fotoku membalasnya dengan tersenyum manis, sedang aku hanya diam sembari beberapa kali menarik napas panjang. Terdengar jangkrik dan katak saling bersahutan di luar rumah. Apa ini? Mengapa mereka seperti meledekku? Semakin lama suara-suara itu seperti melodi musik, merangkai kata dengan bahasa yang tak ku mengerti.

Pagi ini aku bangun sedikit terlambat. Ibu sudah rapih dan cantik dengan dress coklat mudanya. Walau tengah hamil tua, beliau begitu gesit mengurus keperluan ayah dan keempat adikku. Nasi goreng bercampurkan sosis, sayuran dan telur sudah tersaji rapih di atas meja, aroma susu kental manis yang khas, sudah membuat air liurku memuncak ingin segera menyantap habis masakan Ibu yang selalu lezat itu. Sudah kukatakan sebelumnya, rumah ini tak pernah jauh dari gaduh. Adik-adiku yang berebut buah pencuci mulut atau saling lempar sepatu. Kadang aku heran, kenapa ayah dan ibu mau punya banyak anak?

Di sekolah, pagi ini aku disambut hangat dengan sorot mata cemerlang Dion yang nampak misterius. Kemeja merah marun yang dikenakan menambah pesonanya."Oh,apa lagi ini?" tanya vas bunga di mejaku. Diam adalah jurus andalanku, sembari menatapnya. Hari ini jam bergulir begitu lambat. Padahal aku ingin segera pulang, tak terasa jam sudah menunjukan pukul empat sore. Perutku terasa lapar, aku bergegas untuk pergi ke kantin. Baru beberapa langkah menuju kantin, telingaku terusik suara petikan gitar yang indah. Langkahku terhenti, sesaat aku hanyut terpaku padanya, Pria itu tak lain adalah Dion. Cukup lama aku memandangnya, sebelum ku putuskan untuk segera pulang. Belum jauh motorku melaju, sekitar 5 meter dari sekolah. Dion memotong jalanku. Dia mengajakku untuk makan bersama. Hanya kedai kecil di pinggir jalan tempat kami makan. Tanpa bertanya padaku, Dion langsung memesankan nasi goreng. Beberapa menit kemudian pelayan kedai  menyajikan makanan yang kami pesan. Kami makan sambil berbincang-bincang. Dion bertanya tentang aku dan keluargaku, mulai dari bagaimana ayah, ibu sampai berapa jumlah adikku. Namun setelah ku ceritakan, raut wajahnya berubah. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Selesai makan, dia langsung mengajakku pulang. Sejak saat itu, hubunganku dengan Dion mulai merenggang.
Dalam benakku terus bertanya-tanya, apa yang membuat Dion berubah. “Mungkinkah karena keadaan keluargaku? Sebab ia terdiam setelah mendengar ceritaku” gumamku dalam hati. Sesaat aku merasa kesal dan marah dengan keadaan keluarga. Sebagai anak pertama yang mempunyai empat orang adik, tentu tanggung jawabku sangat besar. Bahkan saat ini ibu tengah hamil, dan aku akan memiliki adik baru. “Adik baru lagi?” keluhku dalam hati.

Rabu, 8 Juni 2015 tepat pukul 06.30 pagi. Hari ini aku ijin tidak masuk kerja karena harus mengantar ibu ke klinik bersalin. Sejak semalam ibu mengeluh sakit. Mungkin adik baruku akan segera lahir. Di klinik, dokter menyarankan untuk segera membawa ibu ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, dengan cekatan mereka membawa ibu ke ruang khusus bersalin. Aku dan ayah menunggu dengan perasaan gelisah, takut, dan cemas.  Ayah yang biasanya terlihat tenang, kini berbeda. Ini adalah keenam kalinya ibu melahirkan, pantas saja ayah merasa begitu cemas.

Dilihat dari segi usia, Ibu sudah berkepala empat sangat rawan jika harus melahirkan lagi. Bibirku dan bibir ayah sama-sama tak bisa berhenti bergerak, ratusan, ribuan, bahkan jutaan doa dan dzikir terucap. Suster dan dokter berulang kali keluar masuk ruangan, Ayah semakin cemas. Dinyalakannya sebatang rokok yang keluar dari saku celana. Mungkin itu cara Ayah agar bisa sedikit tenang. Tepat pukul 08:00 adik bungsuku yang cantik di lahirkan. Sangat cantik meski dokter bilang ada bagian yang kurang sempurna. Ayah berusaha menenangkan ibu, kami semua menghibur ibu agar ikhlas menerima kekurangan adikku ini. Tangis dan doa terus tercurah saat ibu melihat si merah masih tertidur pulas dalam sebuah tabung kaca dengan selang oksigen di hidungnya. Berulang kali dokter memanggil ayah masuk ke ruang ICU, lorong itu jadi saksi bisu tangis ayah yang harus melihat dia berulang kali di tusuk jarum untuk tes darah, dan begitu banyak alat tertempel di tubuhnya. Ia masih sangat kecil untuk merasakan itu.

Sudah hari ketiga adikku dirawat,  malam ini aku ikut berjaga dengan ayah, kebetulan besok aku tidak kerja. Suasana malam dirumah sakit tidak begitu bagus, terdengar banyak suara bayi menangis dari ruang ICU khusus bayi, padahal sudah sangat larut. Deru jangkrik disini sama sekali tidak merdu, ini suara jangkrik terburuk yang pernah ku dengar.

Malam-malam berikutnya, suasana di rumah sakit masih belum bersahabat. Hanya dzikir dan doa yang terus terlantun bagai air yang mengalir. Tak jarang ku pecahkan cahaya bulan dengan jeritan hati yang menolong kesakitan. Air mata bagai keran yang dibuka katupnya. Namun tak sedikitpun rasa sakit yang ia perlihatkan padaku. Dia lebih tegar dari yang kubayangkan. Sedang aku begitu rapuh melihatnya, menantikan kabar dari pria yang mencuri hatiku. Dion tahu adikku masih dirawat, tapi tak sedetik pun batang hidungnya muncul disini. Bertukar pesanpun jarang. Semakin yakin aku pada kehendak Tuhan. Dion bukan orang yang baik untukku. Yang ku tahu rasa ini belum hilang untuknya, tapi aku lebih mengutamakan keluarga bagikut tak masalah jika harus tak memiliki cinta asalkan aku bisa menjadi anak yang baik, kakak yang baik.

Tak terasa 10 hari telah berlalu, keadaan adik kecilku mulai membaik. Dokter sudah menjadwalkan adikku untuk operasi di bulan September, sebelum Ia mengijinkan kami untuk membawanya pulang. Keempat adikku menunggu di rumah. Sesampainya di rumah, aku dan adik-adikku terus berebut untuk bisa bermain atau hanya sekedar menggendongnya. Terasa semakin hangat keluarga ini. Sudah dua malam, ku lantunkan ayat suci Al-Qur’an di telinganya hingga ia tertidur pulas. Dia sangat cantik, seperti bidadari. Ini malam ketiga ia di rumah, selepas isya ku lihat ibu masih menyusuinya sebelum akhirnya ayah membangunkan kami dengan nada yang berbeda. Yang ku dengar, berulang kali ayah menyebut nama Oja sembari berulang pula mengguncang tubuhku. Suasananya tak lagi bisa ku gambarkan, wajah ayah dan ibu begitu merah kehitaman, seperti menahan sesak atas sesuatu.

"De Oja sudah gak ada mba… Dia sudah pulang…” ujar ayah sembari menangis. Aku berusaha tenang, berkali-kali ku tarik napas panjang berharap ini hanya mimpi buruk. Sebelum akhirnya kulihat pasi wajah cantik itu, jemarinya yang tergantung lemas, denyut nadinya yang telah dingin, matanya yang tertutup rapat seolah tidur dengan sangat pulas, tak ingin diganggu. Tersisa sedikit senyum di ujung bibirnya. Kini dan hidup dalam benak kami. Tersimpan sesal yang berulang ku katakana, lewat doa yang tak henti ku kirimkan. Dia Wanoja terus bersemayam sudah tersenyum bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Munafik